Minggu, 01 November 2009

MAU LEBARAN, ISTRI PUN BARU


Anak kecil, mau Lebaran pasti pakai baju baru. Kalau anak kecil edisi 50 tahun lalu macam Bahrun, mau Lebaran justru siapkan ….. istri baru! Tapi karena pernikahan itu tanpa restu istri pertama, Bahrun diadukan ke Bupati Menggala (Lampung). “Masak, saya habis manis sepah dibuang,” ujar Ny. Farida, 45, sengit.

Tengoklah sebuah hadist Nabi; meski perceraian itu halal, tapi sangat dibenci Allah. Karennya, kecuali dalam kondisi darurat, janganlah begitu mudah mengobral talak, baik hanya satu maupun tiga. Perbaikilah bangunan rumahtangga itu, jangan lalu dirobohkan untuk membangun yang baru lagi. Sebab apapun alasannya, perceraian selalu menorehkan luka dan memutus tali silaturahmi. Jadi ibaratnya mobil, mana yang penyok diketok magic saja, atau didempul yang tebal lalu disemprot Pilox biar mulus kembali!

Istri Bahrun, adalah salah satu wanita yang tak siap dengan perceraian itu. Meski alasan suaminya masuk akal, tapi Farida tak rela jika dicampakkan begitu saja. Sebab Bung Karno selalu bilang: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Itu artinya, Bahrun harus menengok ke belakang, ketika belum jadi siapa-siapa dan belum punya apa-apa. “Ee, sekarang, baru bisa masak nasi kentel saja sudah mulai berlagu, kawin lagi…,” omel Ny. Farida merepet-repet.

Kondisi ekonomi Bahrun 25 tahun lalu memang benar-benar laksana kaum duafa, nyaris tanpa masa depan. Remaja lontang-lantung itu lalu disekolahkan oleh orangtua Farida, sehingga lulus SPG. Diapun kemudian menjadi guru negri. Agar tidak tanggung-tanggung menolong si anak miskin, Bahrun pun dijodohkan dengan Farida yang kala itu berusia 25 tahunan. Lantaran telah berutang budi, lelaki “ikatan dinas” itu tak bisa menolak. Lengkaplah kebahagiaan Bahrun, sudah diberi tamatan (ijasah), kini dikasih pula kenikmatan!

Ada yang bilang, istri itu penunjang karier suami. Mungkin ini benar, sebab karier Bahrun sebagai guru semakin cemerlang, sehingga dalam usia 40 tahun dia sudah diangkat jadi Kepala Sekolah. Cuma, kebutuhan manusia kan bukan hanya karier, tapi masih banyak yang lain. Salah satu di antaranya adalah keturunan, untuk penyambung dinasti. Lha ini Bahrun yang tidak punya, sebab sekian puluh tahun menjadi suami Farida, istrinya tak pernah sekalipun mengandung. Dua puluh lima tahun menikah, hasilnya hanya keringatan doang!

Hati Bahrun mulai gelisah. Mumpung belum terlambat, dia harus mencari istri baru yang bisa memberikan keturunan. Tapi untuk meninggalkan istri perdana, juga tiada tega. Ketika cinta isi ulang-nya bersemi pada seorang guru anak buahnya sendiri, diam-diam dinikahilah Fitri, 28, menjelang Lebaran kemarin. Sengaja nikah siri, karena sambil melihat situasi. Ibarat motor, pakai SIM sementara. “Yang penting sudah halal dikendarai,” begitu tekad Bahrun yang takut disemprit polisi.
Sayangnya, Fitri kemudian juga tak mau dimadu. Dia beranalogi, bebek petani Brebes saja bila sudah tidak bertelur, pasti dipotong. Itu artinya, Bahrun harus berani menceraikan Farida. Meski berat, demi cintanya pada istri baru yang masih in reyen dan belum boleh buat boncengan, Bahrun lalu menggugat cerai istrinya lewat Pengadilan Agama, Manggala. Agar memudahkan proses, alasan yang dipakai cukup jitu: istri tidak bisa memberikan keturunan alias majir bin gabuk.

Alangkah kagetnya istri malang dari Desa Pagarjaya, Kecamatan Lambukibang, Tulangbawang Barat ini. Apa dosanya kok suami tega menceraikannya? Padahal janjinya dulu, meski misalnya kawin lagi takkan melupakan bini perdana. Karene rasa keberatannya tak digubris suami, terpaksa Farida mengadu ke Bupati Menggala, agar menindak atau memecat Bahrun yang telah lupa pada sejarah. “Dulu kan kere, sekarang mau munggah bale (ngelunjak),” kata Farida bersungut-sungut.

Yeee….., yang punya “sungut” kan Bahrun, tapi nggak manjur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar